ARTIKEL FILSAFAT AGAMA
DISUSUN
OLEH:
DIKI
ARIZKI
DOSEN
PEMBIMBING:
WIRA
SUGIARTO,S.IP, M.Pd.I
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAIN
BENGKALIS
2015/2016
BAB I : PENDAHULUAN
Perkataan filsafat berassal dari bahsa yunani yang terdiri atas dua kata
yaitu: (1) philein, dan (2) sophos. Philen berarti cinta dan sophus berarti
hikmah (wisdom). Perkataan philosophio merupakan perkataan bahasa yunani yang
dipindahkan oleh orang-orang arab dan disesuaikan dengan tabi’at susunan kata-katra orang
araab, yaitu falsafah pola : falalaa dan fi’’al yang keudian menjadi kata
kerrja falsafah dan filsaf adapun sebutan filsafat diucapkan dalam bahasa
indonesia kemungkinan beasr merupakn gabungan kata arab falsafah dan bahassa
inggris philsophi yang kemudian menjadi filsafat.
Salah satu kebiasaan dunia penelitian
dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu ber-awal dari
pengetahuan tentang satuan-satuan.Setiap satuan yang ditemukan itu
dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri
ter-tentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah diverivi-kasi
itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan
pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali
dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam.Orang yang
berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu
yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan
"lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih dahulu. Jika
orang telah banyak membaca
filsafat ia akan mengerti sendiri
apa filsafat itu.Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak
diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan,
terutama untuk memahami pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan
siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan
definisinya.Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang
belakangan.Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai
reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya orang bijaksana,
orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat
orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan
tercapai oleh manusia.
Semenjak semula telah terjadi
perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya
me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut
Harun Nasution kedua kata tersebut setelah digabungkan
menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan
arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata
Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya
dengan su-sunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan
demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah ataufilsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat tidak
ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang
mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya
maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan
mencintai kebijaksa-naan, sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan
hikmah.Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan
berdasarkan suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan
peraturan yang telah ditentukan.Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada
sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.Namun dalam
konteks filsafat kata philosophia itu merupakan terjemahan dari love
of wisdom.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat
dipahami bah-wa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan.Tetapi pengertian
itu belum memberikan pemahaman yang cu-kup, karena maksudnya belum dipahami
dengan baik.Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui
pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan pandangan
pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang mem-berikan
pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah
perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahalian tentang
kebijaksanaan itu.Plato mengatakan filsafat ada-lah kegemaran dan kemauan untuk
mendapatkan penge-tahuan yang luhur.Aristoteles (384-322 sm) mengatakan
filsafat adalah ilmu tentang kebenaran.Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat
adalah pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris mengemukakan
filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau
sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan. R. Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran
yang bebas diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari
pengalaman-pengalaman.
Alfred Ayer mengatakan filsafat
adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semen-jak
zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-perta-nyaan mengenai apa yang
dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana
hu-bungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalah-kan apa-apa yang dapat
diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari
pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu
berlaku.
Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan
filsafat adalah pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang
tercakup di dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui,
Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui
?Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ?Jawabnya :Agama. Apa manusia
itu ? Jawabnya Antropologi. Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa
filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manu-sia.
Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal
pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.
Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari
sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka. Titus mem-berikan difinisi bahwa
filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa
prasangka.Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat
sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat adalah suatu sikap
terhadap hidup dan alam semesta.Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu
sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan
masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima
hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam
keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap
kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua adalah suatu metode berfikir
reflektif dan metode pencarian yang beralasan.Ini bukalah metode fil-safat yang
eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati
terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat adalah kumpulan
masalah.Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat men-dasar
yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba
memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ?apakah keindahan itu,
apakah perebedaan antara benar dan salah. ?
Keempat filsafat merupakan kumpulan
teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori
filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul
dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti
Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat ber-pengaruh bagi
pemikiran di masa sekarang.Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme,
realisme, pragmatis-me dan sebagainya.
Kattsoff mengemukakan filsafat, ialah ilmu penge-tahuan yang dengan
cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas
yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat
dengan kata lain merupakan ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya
yang pertama termasuk dalam ketertiban alam. Selain itu filsafat merupakan
ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang
jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta
peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an serta peristiwa itu
lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.
Selain itu Liang Gie
mengemukan metode yang ber-beda dalam pembahasan ini. Penulis itu
meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat
itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu
orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat maupun filosof
karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu
seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau
telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang
kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian
yang diberikan oleh dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu
mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar
dok-torandus atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu
sarjana yang mem-berikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu
cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu
seorang pemikir da-lam bidang filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut
filosof.Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan
filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari
persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan
maupun tulisan.
Itulah di antara definisi yang dikemukakan
oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, politik,
ekonomi dan seba-gainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar
karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu
yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah
filsafat khsus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan
sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa
luasnya lapangan filsafat.Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran
dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu,
ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap
radikal, sistematis, universal dan bebas.Dengan demikian dalam pembahasan ini
semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama
sehingga hasil itu disebut filsafat agama.
B. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa
Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi,
tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ter-nyata
agama memang mempunyai sifat seperti itu.Agama, selain bagi orang-orang
tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia.Dick Hartoko menyebut agama itu
dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang
Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat.Kata religi
berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca.
Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara
itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi
berasal dari religare yang berartimengikat. Ajaran-ajaan agama memang
mem-punyai sifat mengikat bagi manusia.Seorang yang beragama tetap terikat
dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi mengandung
makna berhati-hati hati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi
terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma
mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang
suci tetapi juga sekalian tabu. Yang kudus dipercayai mempunyai sifat
baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan
asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi
segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan
nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena
itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu
Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya
disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan
antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan
Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan
atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada
penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus.
Manusia mengakui adanya
ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati
sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang
Mutlak itu manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan
antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas
ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula
berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam al-Quran
terdapat kata din yang menunjukkan pengertian agama. Kata din denganakar
katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din
dan dain.Al-Quran menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama
dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan
utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat
dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan.Yang pertama
mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua.Dalam
agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih
tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia.
Kata din dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia
tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat
sebagai milik Tuhan karena pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih
bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh
harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu.Kata dain
yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang
jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan
merasa segan terhadap yang berpiutang.Dalam diri orang yang berutang pada
dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu
dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi.Dalam Islam manusia
berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas
berarti undang-undang atau hukum.Kata itu juga berarti menundukkan, patuh,
utang, balasan, kebiasaan.dan semua itu memang terdapat dalam
agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan
diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk
kepada pengerti-an agama secara etimologi. Namun banyak pula di antara
pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga
diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan
kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat
umum ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara
hidup di dunia ini.
Sidi Gazalba memberikan definisi
bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan
dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup
berdasarkan doktrin tertentu. Karena dalam definisi yang dikemuka-kan di atas
terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum,
Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang
direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan
al-Quran dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad
mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem
hidup yang diterima dan diredai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah
sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya.Sistem hidup itu
mencakup berba-gai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal
perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama
itu dapat dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang mene-kankan
kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang
cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama
yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang sesuai dengan
kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.
Bila dilihat dengan seksama
istilah-istilah itu ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan.Dalam agama
terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap
manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan
sehari-hari.Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari
kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk
agama, yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya
hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya
kekuatan gaib yang me-nguasai manusia.
3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk
hidup yang me-ngandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar
diri manusia dan yang mempengaruhi perbu-atan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan
gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang
berasal dari kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib
yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius
yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Definisi yang dikemukakan Harun
Nasution dapat disederhanakan menjadi dua definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7
dapat diketahui bahwa agama berkaitan dengan keterikatan manusia dengan
kekuatan gaib yang lebih ting-gi dari manusia yang mendorong manusia untuk
berbuat baik, bisa yang berkekuatan gaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang
dipercayai mempunyai kekuasaan luar biasa melebihi dari dirinya, sekalipun pada
hakikatnya yang dipercayai itu adalah benda mati seperti berhala dalam zaman
Jahiliah. Adapun definisi nomor 8 terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan
melalui nabi-nabi.Jika disimpulkan, definisi-definisi agama itu menunjuk kepada
kuatan gaib yang ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun
karena sikap pemarah dari yang gaib itu.
Dari delapan difinisi di atas dapat
diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap agama, yaitu :
Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat
pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong.Oleh sebab itu, manusia
merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut.Hubungan
baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib
itu.
Kedua keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan
hidup akhirat tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan kekuatan gaib itu.
Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan, yang dicari
akan hilang pula.
Ketiga respon yang bersifat emosionil dari manusia.Res-pon itu
bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau
perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-agama monoteisme.Selanjutnya
respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di dalam agama primitif, atau
pemujkaan yang terdapat dalam agama menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu
mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam
bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama
itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Setelah diketahui pengertian
masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya
pengertian filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa filsafat agama
adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang bebas. Pemikiran
ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa
terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu
agama.Kedua membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan
maksud untuk menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau sekurang-kurangnya
untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak
bertentangan dengan logika. Dasar-dasar agama yang dibahas antara lain
pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia
dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati dan lain-lain. Oleh sebab
itu pengertian filsafat agama adalah berfikir secara kritis dan analitis
menurut aturan logika tentang agama secara mendalam sampai kepada setiap
dasar-dasar agama itu..
BAB II :
PEMBAHASAN
A.
Agama Sebagai Objek
Filsafat
Dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda.Agama banyak
berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama
samawi (Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah,
sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang
bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha
Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya. Semua itu merupa-kan bagian dari
ajaran agama dan setiap ajaran agama itulah yang menjadi objek
pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan bertujuan
menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mem-punyai ciri
sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Kata objek dalam bahasa Indonesia
sering diartikan dengan sasaran atau sesuatu yang menjadi pelengkap dari suatu
aktivitas. Apa saja yang menjadi sasaran dalam suatu aktivitas berarti hal itu
menjadi objek dari aktivitas ter-sebut. Jika seorang peneliti melakukan
penelitian tentang pola hidup masyarakat nelayan di A maka semua pola
hidup dan tingkah laku masyarakat nelayan tersebut adalah menjadi objek
penelitian. Dengan kata lain setiap nelayan yang ada di lokasi penelitian yang
dilakukan itu jelas menjadi objek dari penelitian tersebut.
Isi filsafat itu ditentukan oleh
objek apa yang dipikir-kan. Karena filsafat mempunyai pengertian yang berbeda
sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya, akan besar kemungkinan objek
dan lapangan pembicaraan fil-safat itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan
filosof adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan,
maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan.
Aristoteles mengemukakan bahwa objek
filsafat ada-lah fisika, metafisika, etika, politik, biologi, bahasa. Al-Kindi
mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika, matematika dan ilmu
ketuhanan. Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang maujud. Selain
yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu
termasuk objek pembicaraan filsafat.
Semua sasaran pembahasan di atas
merupakan mate-ri pembahasan filsafat.Agama adalah salah satu materi yang
menjadi sasaran pembahasan filsafat.Dengan demi-kian, agama menjadi objek
materia filsafat.Ilmu pengeta-huan juga mempunyai objek materia yaitu materi
yang empiris, tetapi objek materia filsafat adalah bagian yang abstraknya.Dalam
agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek pisik dan aspek
metefisik.Aspek metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib,
seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya, sedangkan
aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (pisik dan
metafisik) menjadi objek materia filsafat.Namun demikian objek filsafat agama
banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek pisik.Aspek pisik itu
sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi,
ilmu biologi dan sebagainya.Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari
filsafat.
Dengan demikian, agama ternyata
termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain.Objek
materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain. Perbedaan itu sebenarnya
disebabkan oleh sifat penyelidik-an. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di
sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah
bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek
yang terdalam dari agama itu sendiri.
Selain objek materia itu terdapat
pula objek forma filsafat yaitu cara pandang yang menyeluruh, radikal dan
objektif tentang yang ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan demikian,
agama sebagai objek forma filsafat adalah cara pandang yang radikal tentang
agama dan ber-bagai persoalan yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain
objek forma filsafat adalah pembahasan yang mendalam dan mendasar dari setiap
hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama di dunia ini. Seperti diung-kapkan di
atas bahwa pemabahasan terpenting dalam setiap agama adalah ajaran tentang
Tuhan. Pembahasan ini tidak hanya melihat argumentasi yang memperkuat
keya-kinan tentang Tuhan, tetapi juga argumen yang memban-tah, melemahkan
bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang akan dibahas dalam filsafat
agama.
Karena begitu mendalamnya pembahasan
tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan mempelajari
agama bisa seseorang berubah keya-kinan.Ada orang yang membahas
persoalan kepercayaan dalam agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada
orang yang membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia tidak
mendapatkan kepuas-an dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling dari
keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan, tetapi
setelah membahas eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan.
Nietzsche, seorang keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari
persoalan ini. Sebaliknya, seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya
mengalami kekosong-an dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang penga-laman
orang yang beragama bisa pula menjadi penganut agama yang kuat.
Tidaklah terlalu asing orang
mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah keyakinan atau tidak
meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan.Ini bisa berarti bahwa pembahasan agama
secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia.Tetapi perlu diingat
bahwa pembahasan filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran
ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal
yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.
Sebenarnya objek filsafat agama
tersebut tidak hanya persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi juga sampai
kepada persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis pada umumnya
berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada waktu
itu, seperti persoalan keadilan Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya
persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan filsafat agama karena
eskatologislah yang mendo-rong orang bersemangat orang untuk menjalankan
ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan
agama menjadi kurang menarik.Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya
menjadi tertarik kepada kepada agama.
Filsafat agama sebenarnya bukanlah
langkah untuk menyelesaikan persoalan agama secara tuntas.Pemba-hasan filsafat
agama hanya bertujuan untuk mengungkap-kan argumen-argumen yang mereka
kemukakan dan memberikan penilaian terhadap argumen tersebut dari segi
logisnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa
objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan seperti penyelidikan sain
yang keingingtahuannya hanya pada batas yang dapat diteliti secara empiris.
Dalam istilah lain, batas penelitian dalam ilmu pengetahuan adalah pada daerah
yang dapat diriset, sedangkan objek filsafat adalah hal-hal yang dapat
dipikirkan secara logis. Sain meneliti dengan riset, sedang-kan filsafat
meneliti dangan memikirkannya.
Selain itu filsafat merupakan
analisa logis dari segi bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
Di sini yang dilihat adalah maksud dari suatu istilah, seperti agama itu
maksudnya apa. Sudah logiskah sesuatu yang dinyatakan dalam agama itu.Dari
sekian banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli filsafat, yang dimaksud
dengan filsafat di sini adalah berfikir menurut tata-tertib logika dengan bebas
(tidak terikat pada suatu tradisi, dogma, serta agama) dan dengan
sedalam-dalamnya se-hingga sampai kepada dasar-dasar persoalan.Yang utama dalam
tulisan ini adalah analisis kritis dan logis terhadap setiap persoalan agama.
Sehubungan dengan itu, apa sebenarnya yang menjadi objek pembahasan filsafat,
apakah segala sesuatu tanpa kecuali dapat menjadi objek pembicaraan filsafat.
Dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa objek pembicaraan filsafat itu banyak sekali, yaitu segala yang ada.
Agama ternyata merupakan salah satu objek pembicaraan filsafat.
B.
Perbadingan Agama dan Filsafat
Dari uraian di atas diketahui bahwa
antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan. Menurut Prof. Dr. H. H.
Rasyidi, perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya,
tetapi terletak pada cara menye-lidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah
berfikir, sedang-kan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hu-bungan
dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran.Williem
Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut
pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengeta-huan untuk
beribadah atau mengabdi.Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi
yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan.Lewis mengidentikkan agama
dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah
ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa
cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa
cinta itu disebut contemplation.
Di sisi lain agama mulai dari
keyakinan, sedangkan filsafat mulai dari mempertanyakan sesuatu. Mahmud
Subhi mengatakan bahwa agama mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan
dengan mencari argumentasi untuk memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu summa
yastadillu), sedangkan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan
bukti-bukti yang kuat dan kemudian timbul-lah keyakinannya (yastadillu
summa ya`taqidu). Dalam pendapat Mahmud Subhi , agama di sini
kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan, bukan
ber-awal dari argumen.
Perbedaan lain antara agama dan
filsafat adalah bah-wa agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat
banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat
diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan
filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan
dasarnya.Seorang penganut agama biasa-nya selalu mempertahankan agama
habis-habisan karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu.Sebalik-nya
seorang ahli filsafat sering bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya
jika ternyata pendapatnya keliru.Dalam diri seorang ahli filsafat terdapat
maksud meneliti argumen-argumen yang mendukung pendapatnya dan kelemahan
argumen tersebut walaupun untuk argumen dia sendiri, sedangkan dalam diri
penganut suatu agama tidak terdapat keinginan seperti itu.
Di sisi lain Harun Nasution
membandingkan pemba-hasan filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena
setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersen-diri dalam teologi.
Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama,
pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu.Dengan demikian
terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran seperti itu
kurang tepat karena pandangan masing-masing penganut agama dan filosof bersifat
sepihak. Pendirian yang lebih baik dan lebih berfaedah adalah pendirian seorang
penganut suatu agama yang bersedia mendengarkan uraian tentang paham atau agama
lain dan meminta bukti dari paham atau agamanya itu.
Seseorang memerlukan kepiawaian
dalam menge-mukakan argumen, memahami teknik analisa serta menge-tahui sejumlah
bahan pengetahuan untuk memikirkan se-gala sesuatu secara logis, termasuk
setiap problem kehi-dupan yang ada hubungannya dengan hal itu.Melihat sesuatu
itu memerlukan pemikiran luas, dan jauh dari emosi.Tetapi harus disadari bahwa
agama pada satu sisi memang ditandai dengan unsur-unsur yang bersifat memi-hak
kepada keyakinannya sendiri.Tanpa ada sifat memihak, agama kadang-kadang kurang
terasa maknanya.
Dengan
demikian, seorang ahli agama bisa menyelidiki ajaran agamanya sendiri, demikian
juga agama lain, tetapi dia harus menyadari posisinya pada waktu meneliti agama
untuk menghindari banyaknya unsur subjektif yang sering muncul dalam pemikiran ahli agama itu.
BAB III :
PENUTUP
Filsafat
menurut ahli, Muhammad Hatta dan Langeveld
mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibicarakan lebih
dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa
filsafat itu.Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan.
Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk
memahami pemikiran orang lain. Sedangkan menurut para ahli tentang agama
Sedangkan
menurut para ahli tentang agama, Dick
Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan
antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam
ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang
berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara
mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus
dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang
berartimengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat mengikat bagi
manusia.Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Dari pendapat
ahli diatas mengenai filsafat dan agama penulis dapat menarik benang merah nya
yaitu ; baik filsafat dan agama sebenarnya berbeda tetapi diantara nya saling
keterkaitan sehingga didalam suatu permasalahan baik berasal dari agama maupun
filsafat sendiri, antara kedua nya dapat dijadikan tolak ukur untuk memecahkan
sebuah masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis, Samsul Nizar. 2006. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta:Kalam Mulia.
Dardiri. 1986. Humaniora, Filsafat dan Logika,
Jakarta : Rajawali Press.
Harun . 1979. Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.